
Meme bukanlah fenomena baru dalam dunia digital. Pengemasannya selalu saja terlihat sederhana sekaligus menarik. Mungkin tujuannya untuk asupan humor, tetapi dengan penyampaian pesannya yang mengena (satire), membuat kita setidaknya tersenyum ketika melihatnya. Sasaran meme memang tidak dibatasi oleh usia tertentu. Namun, tak terbatasnya isu yang dapat diangkat melalui meme, terkadang membuatnya menimbulkan pro-kontra, apalagi bila diposting di media sosial.
Oleh karena itu, kebanyakan para penikmatnya tentulah digital natives, yakni generasi yang lahir dan tumbuh dewasa pada era digital. Generasi tersebut terdiri atas mereka yang lahir sebelum teknologi ditemukan. Jadi, orang-orang yang lahir setelah tahun 1980 lah yang dianggap masuk dalam generasi ini. Pemahaman mereka terhadap teknologi dibanding generasi sebelumnya turut menentukan bagaimana paradigma mereka terhadap fenomena-fenomena dunia digital. Mereka terbiasa berselancar di dunia digital dan menjadikannya sebagai tempat primadona dalam mencari hiburan. Tak heran, bila meme —yang memang ditujukan pertama-tama untuk hiburan— mudah diterima oleh generasi ini. Berdasarkan pertimbangan ini, maka meme dapat dijadikan sarana berkenalan atau belajar hukum “tipis-tipis”, khususnya bagi digital natives.
Postingan Twitter Prof. Mahfud MD bisa menjadi salah satu batu loncatan untuk menerapkan hal tersebut di Indonesia. Dalam postingannya, Prof. Mahfud memosting sebuah meme yang katanya dikirim oleh rekannya sesama menteri. Meme tersebut menampilkan seorang anak kecil yang meminta “keadilan” kepada seorang pria dewasa. Alih-alih memberikan apa yang diminta anak kecil tersebut, pria dewasa itu malah memarahinya dengan berkata, “MINTA... MINTA... BELIIII ...!”
Beragam komentar mewarnai postingan ini. Kebanyakan warganet merasa semestinya itu tidak diposting oleh orang yang menjabat sebagai Menkopolhukam Indonesia tersebut. Mereka menganggap postingannya itu malah menunjukkan ironi kalau pejabat Indonesia sekarang tidak punya rasa malu. Bukannya tersindir, malah menjadikan hal demikian sebagai bahan bercandaan.
Sejauh pengamatan saya, di dunia digital (apalagi media sosial) kebanyakan meme yang berkaitan dengan hukum di Indonesia memang digunakan untuk menyindir sikap para pelaku. Jadi, wajar saja netizen merasa itu pantang untuk diposting oleh seorang pejabat. Para pejabatlah representasi nyata dari pria dewasa tersebut. Sementara korbannya adalah rakyat Indonesia sendiri. Posisi Prof. Mahfud sebagai Menkopolhukam yang memosting itu seakan-akan menunjukkan ketidakberdayaan hukum Indonesia dalam menangani kelakuan para pelanggar keadilan.
Kalau saja, beliau memosting hal itu dengan menjelaskan konsepnya dan menyertakan dasar hukum yang relevan. Tentu saja itu lebih baik dan menarik, sebab memang hukum adalah bidang keahliannya. Hal ini dapat menjadi pelajaran bahkan ide segar bagi para meme creator, yakni untuk menyertakan dasar hukum terkait pada meme yang sarat nilai hukum. Tulis saja ketentuan hukumnya di meme tersebut. Bila diposting di media sosial, berikan pula penjelasan pada caption. Bukan sulap, bukan sihir, sindirannya bertransformasi menjadi lebih berkelas. Pada saat bersamaan, meme pun menjadi sarana rele-FUN untuk mengenalkan dunia hukum kepada digital natives.
Terima Kasih !
Tunggu beberapa saat hingga komentar anda tayang.