
Hai, Sobat OLeCo! Apa kabar? Semoga dalam keadaan sehat selalu ya! Nah, pada artikel kali ini, kita akan membahas tentang hukum ketenagakerjaan. Sobat tau gak nih kalau dalam dunia kerja, khususnya hukum ketenagakerjaan, dikenal suatu prinsip yaitu no work no pay. Yup, artinya kalau gak kerja ya gak dapet gaji. Prinsip ini hadir untuk menciptakan keadilan antara pengusaha/pemberi kerja dengan karyawan/pekerja. Bahkan, hal ini udah diatur loh dalam Pasal 93 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) juncto Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) yang menyebutkan bahwa “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan.” Memang udah seharusnya gitu sih, kalo gak kerja ngapain dibayar, malah rugi ya ‘kan? Eitss tapi jangan salah, hal ini ada pengecualiannya loh! Misal karyawan tidak masuk kerja karena sakit, maka dia tetap berhak atas gajinya. Loh kok bisa? Mari kita simak penjelasannya di bawah ini.
Dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 40 ayat (3) huruf a PP Pengupahan disebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Ketentuan ini merupakan pengecualian atas prinsip no work no pay sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Nah, maksud dari “sakit” di sini menurut Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan adalah sakit menurut keterangan dokter, jadi harus dibuktikan sakitnya dengan surat keterangan dokter. Pembayaran gaji bagi karyawan yang sakit sehingga tidak masuk kerja/tidak melakukan pekerjaan ini juga telah diatur khusus dalam Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 41 ayat (1) PP Pengupahan, ketentuannya yaitu:
“Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit adalah sebagai berikut:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.”
Nah selain itu, ketentuan sakit bagi karyawan perempuan yang sedang dalam masa haid juga telah diatur loh! Dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 40 ayat (3) huruf b PP Pengupahan disebutkan bahwa pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh perempuan sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Pembayaran gaji bagi karyawan perempuan yang sakit karena masa haidnya ini juga telah diatur khusus dalam Pasal 41 ayat (2) PP Pengupahan, bahwa
“Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh perempuan yang tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b disesuaikan dengan jumlah hari menjalani masa sakit haidnya, paling lama 2 (dua) hari.”
Jadi meskipun karyawan tidak dapat melakukan pekerjaan karena sakit, karyawan tetap berhak atas gajinya. Bagi perusahaan yang tidak membayarkan gaji karyawan itu, jelas telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Demikian penjelasannya dan semoga bermanfaat ya, Sobat OLeCo!
Terima Kasih !
Tunggu beberapa saat hingga komentar anda tayang.