
Pernahkah Anda mendengar kasus Nenek Minah yang dipidana karena "mencuri" tiga buah kakao? Ia tidak berniat mencuri, ia juga tidak tahu bahwa perbuatan isengnya memetik tiga buah kakao kala berisitirahat sehabis memanen kedelai itu melanggar hukum dengan demikian seriusnya. Ia bahkan menyerahkan kembali tiga buah kakao yang dipetiknya itu sebab ia tak bersungguh-sungguh hendak mencuri, pula sadar ia bersalah telah melakukan sesuatu yang tercela. Namun, apakah ketidaktahuan itu dapat dijadikan dalih untuk membebaskan diri dari tuntutan? Kasus Nenek Minah dengan terang menjawab “tidak”.
Jika dalam sastra genre fiksi adalah cerita yang berasal dari rekaan imajinasi, dalam hukum, ia adalah suatu asas yang mengasumsikan bahwa semua orang tahu akan hukum manakala hukum tersebut telah diundangkan (Presumptio iures de iure). Dan oleh sebab itu pulalah, alasan tidak tahu tidak dapat diterima dan tidak bisa membuat seseorang terbebas dari tuntutan hukum (Ignorantia excusatur non juris sed facti”, artinya, “Ketidaktahuan dapat dimaafkan, namun tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum”).
Walaupun bukan Juris, namun, sebagai warga negara dari sebuah negara hukum, siapapun kita harus melek hukum. Walaupun tidak sampai memahami betul sistem hukum ataupun lika-liku hukum formil, namun setidaknya tahu dan sadar akan batasan-batasan kebolehan dan pelarangan dalam melakukan dan/atau tidak melakukan sesuatu agar kita terhindarkan dari melakukan perbuatan melawan hukum secara tidak sadar, amat diperlukan.
Bukan hanya kita sebagai warga negara saja, pemerintah khususnya DPR dalam hal ini, sesuai dengan pasal 88 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga memiliki kewajiban untuk memublikasikan aturan-aturan hukum bahkan sejak penyusunan prolegnas. Dan beruntunglah kita sebab hidup di era digital dan kebebasan informasi di mana pada saat ini, mulai dari peraturan perundang-undangan, surat edaran, putusan hakim, jurnal, artikel-artikel hukum, bahkan konsultasi hukum bisa kita dapatkan dengan mudah secara daring, bahkan ada pula yang gratis.
Namun demikian, asas ini banyak ditentang juga oleh berbagai pihak. Sebab, dengan keadaan sosial yang masih senjang, betapa naif jika kita mengasumsikan semua orang dengan latar belakang yang amat ragam dapat memahami dan mengetahui batasan-batasan dalam hukum.
Walaupun dokumen-dokumen hukum bisa dengan mudah diakses, namun tidak semua warga negara memiliki akses yang layak. Selain itu, biarpun dokumen tersebut sudah bisa diakses, apakah semua bisa dengan mudah dan begitu saja memahami isinya? Akses akan pendidikan yang belum merata, selisih usia antar generasi, membuat pemahaman dan pengetahuan akan hukum menjadi muskil bagi kalangan non juris. Nenek Minah, lagi-lagi adalah contoh nyatanya. Keterbatasan ekonomi, pendidikan, dan usia yang telah lanjut, mengantarkan ketidaktahuannya menjadi elegi hukum di negeri ini. Ketidaktahuannya yang tidak menimbulkan kerugian seberapa tidak diampuni, ia dijadikan tumbal bagi tujuan “kepastian hukum” yang belum juga tercapai.
Bagi generasi Nenek Minah, barangkali sosialisasi pemerintah ke lapangan adalah peluru terakhir agar mereka dapat paham. Namun untuk generasi kita yang memiliki akses pendidikan dan informasi yang jauh lebih baik, kita tak perlu terlalu risau. Terus patungan kontribusi atas gunung informasi yang dapat diakses dengan mudah dan gratis, seperti, menulis artikel hukum dengan bahasa yang mudah dipahami siapa saja, misal, adalah bentuk nyata agar asas ini dapat terealisasi sambil mengikis diskriminasi.
Terima Kasih !
Tunggu beberapa saat hingga komentar anda tayang.