.png)
Dunia hukum sudah layaknya ranah entertainment, selalu ada saja hal yang memancing kontroversi hampir setiap hari. Restorative justice kabarnya akan diterapkan pada kasus tipikor yang notabenenya merupakan extraordinary crime. Namun, sistem ini hanya akan diterapkan pada korupsi di bawah 50 juta jika telah cukup bukti perbuatan melawan hukum serta terpenuhinya syarat penyelesaian perkara di luar persidangan atas kesepakatan para pihak yang terlibat. Di samping itu, tersangka juga berhak menolak dan meminta untuk dilanjutkan ke persidangan, asalkan masih dalam batas waktu pelaksanaan kesepakatan, yakni selama 3 bulan. Akan tetapi, yakinkah Anda jika tersangka akan meminta agar dilanjutkan ke persidangan?
Meski dengan dalih restorative justice pada tipikor ini bertujuan untuk mencegah penumpukan perkara, namun masih patut dipertanyakan, apakah penegak hukum telah betul-betul mempertimbangkan karakteristik kejahatan, pelaku, beserta modus operandinya? Korupsi kerap kali dilakukan karena keserakahan dan adanya kesempatan, baik secara personal maupun secara komunal. Sementara faktor pendorongnya bisa berupa motivasi intrinsik seperti rasa kepuasan ataupun motivasi ekstrinsik dalam bentuk ambisi untuk mencapai jabatan tertentu. Keadaan seperti ini mengingatkan saya pada pendapat Prof. Ronny Rahman Nitibaskara yang menyatakan bahwa korupsi merupakan “kejahatan yang mempesona”, oleh karena hingga kini masih terus ada stakeholder yang melakukan korupsi. Artinya, hukuman yang ada saat ini belum cukup memberikan efek jera bagi koruptor.
Di era digital ini, korupsi tentu lebih “licin” jika dilakukan dengan bantuan teknologi, sehingga proses penyidikan dan penyelidikan diperlukan keterampilan khusus dalam hal penggunaan teknologi. Lalu, pengembalian uang hasil korupsi sebagai wujud restorative justice tersebut, apa bedanya dengan pinjol (pinjaman online)? Tentu saja perbedaannya terdapat pada unsur melawan hukumnya. Akan tetapi, secara teknis terdapat persamaan, yakni sama-sama tidak ada efek jeranya. Dikatakan begitu, sebab secara sederhana penerapan restorative justice pada kejahatan luar biasa ini sudah dapat kita prediksi tentang konsekuensi apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Koruptor merupakan pelaku kejahatan yang istimewa dengan ciri khas sebagai berikut: berasal dari kalangan menengah-atas, memiliki intelektualitas yang tinggi, dan memiliki kekuasaan, jaringan, pangkat atau jabatan. Maka wajar jika angka 50 juta adalah “murah” baginya. Terlebih lagi jika korupsi dilakukan secara komunal, maka tentu terlampau mudah penyelesaiannya. Semacam proses simpan-pinjam saja, bukan? Hanya saja masih dalam konteks kejahatan tanpa efek jera sama sekali.
Kondisi seperti ini akan rawan dimanfaatkan untuk melakukan korupsi kembali di masa mendatang. Lebih memprihatinkan lagi jika uang hasil korupsi tersebut telah sedemikian rupa “diolah” sehingga didapatkan keuntungan darinya yang disembunyikan. Maka koruptor akan tetap memiliki “simpanan” meski telah mengembalikan uang korupsi.
Penerapan restorative justice tidak direkomendasikan pada kejahatan luar biasa yang merusak tatanan bangsa. Penanganan tipikor dengan pidana penjara tentu masih lebih baik, meski juga belum sepenuhnya memberi efek jera. Berapapun nilainya, korupsi tetaplah kejahatan yang sangat berpotensi menjadi kebiasaan hingga generasi berikutnya. Pembaharuan bentuk hukuman bagi koruptor semestinya tidak dibedakan atas besar kecilnya nilai, tapi ditekankan pada dampak negatif yang dirasakan negara dan masyarakatnya. Jika dibandingkan dengan maling seekor ayam, maka jelas lebih cocok bila diterapkan restorative justice ketimbang pada kasus korupsi, kan?
KOMENTAR
Terima Kasih !
Tunggu beberapa saat hingga komentar anda tayang.