
Sempatkanlah waktu kalian untuk bertanya pada mahasiswa fakultas hukum mengapa ia ingin belajar di Fakultas Hukum. Rata-rata akan menjawab seperti ini: niat orang tua, keinginan untuk memiliki harta banyak, prospek kerja yang besar, tidak ada pilihan lain, dan masih banyak lagi. Apabila kalian bertanya pertanyaan yang sama, jawabanku sederhana: pertahanan diri.
Sudah dua tahun kuarungi perjalanan akademisku di Fakultas Hukum, kendati pertama-tama ditengarai oleh ketidaktahuan dan keluguan. Pilihan pertamaku tentu bukan fakultas hukum. Awalnya aku ingin memilih hubungan internasional karena prospek bisa ke luar negeri, tetapi mengingat otak sebesar bibi sesawi membuatku memikirkan lagi. Alhasil, ibuku menyarankan hukum. Kukira Ibuku memilih itu karena aku punya darah batak, tetapi kemudian ibuku mengingatkan tentang kisah lama di keluarga kami.
Pamanku, sebut saja NC, telah lama menjadi masalah dalam keluargaku, bahkan sebelum aku lahir. Pernah ada suatu masa keluarga ibuku terombang-ambing karena ulah dia yang tidak senonoh, sampai membuat ibuku bersitegang dengan kakekku. Dan dari awal itu aku menemukan permasalahan hukum di keluarga kami, perdata maupun pidana.
Tahun 2012 silam, NC menggadaikan rumah kakekku. Entah diapakan uang itu, wallahualam. Aku yang masih belia, tak mengerti apa gadai itu, hanya ikut bingung. Dengan tebusan rumah seharga tiga ratus juta rupiah, kakekku menjual beberapa tanahnya di Pontianak hanya untuk menebusnya. Waktu belajar tentang gadai sendiri, aku semakin bagaimana hal itu terjadi. Kenapa bisa disetujui oleh kakekku? Usut punya usut, layaknya seorang bapak, kakekku percaya bahwa NC akan membayar utang yang diberikan ke BNI dengan jaminan sertifikat rumahnya. Tak disangka, utang tak dibayar dan alhasil aku bisa bercerita hal ini ke kalian. Masalah terpahit adalah, NC secara tidak langsung membunuh nenekku dengan stroke karena masalah ini.
Singkat cerita, NC tidak lagi dianggap keluarga dan hilang dari peradaban. Desas desus juga bilang dia melakukan hal yang sama dan dipenjara, tidak penting juga sih. Namun tahun 2019 silam, layaknya cerita anak bungsu, ia kembali ke rumah yang ia gadaikan, meminta maaf ke kakekku dan ajaibnya, dimaafkan. Aku dan ibuku dicap seperti anak sulung di cerita itu pula. Namun, dalam berbagai masalah itu, kedua belah pihak berdamai karena nenekku jatuh makin parah yang sayangnya diakhiri dengan dia meninggal. Rupanya, kesalahan besar berdamai itu.
Tahun 2020, terulang lagi tetapi sekarang adalah ranah pidana. Atas sebuah masalah yang aku pun tak tahu duduk perkaranya, NC memukul anaknya sendiri sampai babak belur. Aku dan ibuku yang ada di Jakarta bukan hanya kaget, tetapi terpukul. Perlakuannya tidak manusiawi seperti menjambak, memukul pakai kayu, dan menelanjanginya. NC tidak segan-segan juga memukul kakekku. Ibuku meminta bantuan temannya membawanya ke meja hijau dan seketika itu, ia ditahan dan dipersiapkan di pengadilan. Kata ibuku, kalau ia tidak sigap, mungkin saja permasalahan ini akan jadi debuh remah-remah polisi.
Dua kejadian itu tidak hanya menjadi menjadi latar belakang mengapa ada seorang Dayak-Batak masuk ke fakultas hukum, tetapi juga membangun ide bahwa keadaan dunia itu pahit. Hukum adalah alat untuk seseorang dapat menikmati apa itu “keadilan,” tanpanya hidup memang tidak akan adil. Jangan gantungkan pada orang lain, melainkan pada diri kalian atau orang terpercaya untuk melindungi martabat kalian. Stay strong.
Terima Kasih !
Tunggu beberapa saat hingga komentar anda tayang.