
Di tengah abad ke-21, teknologi telah membawa perubahan signifikan dalam aspek kehidupan manusia di segala sektor tanpa terkecuali. Bahkan pada tahun 2011 lalu, tajuk utama New York Times pernah menjadi perhatian publik tentang βArmies of Expensive Lawyers, Replaced by Cheaper Softwareβ, yang ditulis oleh John Markoff. Ia menggambarkan bagaimana komputer dapat mengidentifikasi frasa ataupun kata yang relevan, sehingga mampu menggantikan sejumlah besar advokat (lawyer) dalam praktik pembuatan dokumen hukum. Artikel John Markoff tersebut, sebenarnya memberikan peringatan bagi kalangan profesi hukum khususnya advokat mengenai usaha-usaha menggantikan profesi lawyer dengan teknologi di masa depan (Dana Remus and Frank Levy, 2015).
Kemudian di beberapa tahun terakhir tantangan dunia profesi hukum semakin kompleks. Hal ini ditandai setelah muncul inovasi terbaru yang menarik perhatian banyak orang di seluruh dunia, yaitu tentang penggunaan robot lawyer atau dikenal sebagai suatu perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang dapat membantu pengguna menyelesaikan masalah-masalah hukum. Bahkan pada januari 2023 di Amerika Serikat, muncul wacana penggunaan robot lawyer dalam persidangan dan hingga saat ini masih menuai pro dan kontra.
Dengan berbasis artificial intelligence, penggunaan robot lawyer di abad ke 21 pada dasarnya bukanlah sekedar bagian dari gimmick teknologi, melainkan sebagai tantangan masa depan dunia profesi hukum. Karena memiliki manfaat yang nyata dan signifikan bagi manusia yang sedang berhadapan dengan hukum dengan solusi yang begitu cepat, seperti memproses dokumen dan kontrak dengan cepat dan akurat, serta memberikan saran hukum dasar dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini juga memunculkan kekhawatiran yaitu mengurangi jumlah pekerjaan para profesional hukum, karena beberapa tugas yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh para ahli hukum kini dapat dilakukan oleh robot.
Pada kualifikasi ini, maka keberlakuannya nantinya perlu juga ditinjau berdasarkan UU Advokat maupun Kode Etik Advokat, serta urgensi regulasi dan pengawasan yang ketat untuk memastikan kedudukan robot lawyer tidak berdampak negatif pada industri hukum secara keseluruhan.
UU Advokat dan Kode Etik Advokat
Di indonesia, keberlakuan robot lawyer tetap tidak dapat mewakili manusia untuk bersidang di pengadilan seperti layaknya lawyer alamiah pada umumnya. Hal ini terbatas pada UU Advokat dan Kode Etik Advokat yang berlaku di indonesia. Salah satunya seperti Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang mensyaratkan berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Selain itu Pasal 2 Kode Etik Advokat, juga mengatur bahwa seorang Advokat bertakwa kepada Tuhan YME, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, UUD 1945, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.
Beberapa hal di atas tetap tidak mampu dijalankan oleh robot, karena tidak memiliki nilai atau perasaan sempurna seperti yang dimiliki oleh manusia. Kecerdasan buatan yang dimiliki oleh robot hanya dapat melakukan tugas yang telah diprogramkan dan tidak dapat melakukan penilaian moral atau etika serta perasaan. Oleh karena itu, penggunaannya tetap dipertimbangkan dengan matang dan memperhatikan aspek non-teknis seperti nilai, perasaan, dan empati yang biasanya dimiliki oleh manusia. Sehingga penggunaannya tetap menjaga profesi lawyer sebagai profesi terhormat (officium nobile).
Daftar Bacaan:
Remus, Dana, and Levy, Frank (American medical professor). βCan Robots Be Lawyers? Computers, Lawyers, and the Practice of Law.β Georgetown Journal of Legal Ethics, vol. 30, no. 3, 2017.
Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (LN Tahun 2003 Nomor 49, dan TLN Nomor 4288).
Kode Etik Advokat Indonesia (Disahkan Pada Tanggal: 23 Mei 2002 DKI Jakarta 2002)
Terima Kasih !
Tunggu beberapa saat hingga komentar anda tayang.