
Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka menebar racun tikus sama rata. Ya, Indonesia serba melimpah, mulai air, rempah, sampai koruptor abadiah. Segera disahkan setelah terbetik pada 2021 lalu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. RUU ini diharapkan dapat menyelamatkan aset negara, yang berasal dari tindak pidana, terutama dari perkara tindak pidana korupsi. Namun, apakah aturan ini sudah dapat dikatakan inovatif dan solutif? Demi keberlanjutan, bukankah belum sempurna apabila pemangku negeri masih belum mengikuti apa yang generasi saat ini junjung tinggi—digitalisasi?
Menilik banyaknya kasus korupsi di Indonesia, harusnya pemberantas sudah paham akan gerak gerik asal mula korupsi dengan berkaca pada kasus-kasus sebelumnya. Masih menjadi suatu teka-teki apakah kursi wakil pertiwi akan selalu “dikutuk” bernoda korupsi seumur hidup ini. Padahal di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri. Sebuah inovasi hukum yang kian naik daun belakangan ini, menggunakan Artificial Intelligence atau AI sebagai media digital investigasi.
Selain dengan mengidentifikasi hedonisme sehari-hari, korupsi dapat terkuak oleh kesanggupan AI dalam mengidentifikasi anomali dari transaksi aliran uang para wakil. Jika pengeluaran rutin melebihi aliran dana masuk dari sumber resmi yang dilaporkan, maka perlu dipertanyakan darimana datangnya dana dan untuk keperluan apakah mampir kepada rekening orang yang bersangkutan. Riwayat transaksi, transportasi, booking hotel, bahkan derma atas nama pribadi yang berada di luar SOP pekerjaannya dapat menjadi bukti. Lembaga keuangan seperti bank, asuransi, investasi, dan lainnya akan menyetujui apabila pemerintah turut memberi janji pasti privacy-friendly.
Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan China sudah menggunakan teknologi ini walau dengan kendala privasi data pribadi. Namun, untuk kesejahteraan bersama, apakah data pribadi tidak boleh diulik? Meskipun AI sendiri dapat memproses data seperti petir, penerapannya pun masih melibatkan manusia dalam pengambilan keputusan akhir. Sebab itu, pelatihan dan pengawasan yang memadai bagi para pekerja penegakan hukum pengguna sistem AI wajib diberikan agar mereka dapat memahami dan menafsirkan hasil analisis AI dengan benar serta memastikan keputusan yang diambil adil, tidak diskriminatif, hingga melanggar privasi berlebih.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan teknologi digital AI dalam penegakan hukum serta sebukit pengalaman terkait kasus tikus berdasi, mestinya korupsi bisa dicegah dan dikurangi sedikit demi sedikit. Walaupun sudah terlalu merajalela untuk dicegah, tidak ada kata terlalu terlambat untuk mengobati suatu penyakit sebelum seluruh pertiwi mati terintoksikasi. Inti sari dari segala poin, bahwa sebelum perampasan aset yang masih menjadi diskusi, sedini mungkin tutuplah celah korupsi yang semakin mudah dengan teknologi jalur AI privacy-friendly.
Terima Kasih !
Tunggu beberapa saat hingga komentar anda tayang.